KabarIndonesia - Republik kita sering disebut tanah air. Indonesia mungkin satu-satunya negara yang mengidentifikasi dirinya sebagai negara dalam kesatuan tanah dan air, kemudian menyebut dirinya tanah air. Tanah air – water land —adalah sebuah eksplanasi filosofis atas posisi geografik Indonesia dalam kesatuan bumi.
Entah dari mana mulainya, bagi saya istilah tanah dan air adalah sebuah interpretasi cerdas bernegara yang dilahirkan oleh pendahulu kita. Indonesia tak hanya tanah, tapi juga air. Negeri ini adalah gugusan pulau yang dijalin oleh milyar kubik air dari Sabang hingga Merauke, dari Timor ke Talaud. Sulit membayangkan betapa besarnya negeri ini dengan jumlah pulau 17.508, sekitar 6.000 diantaranya pulau berpenduduk.
Lalu, anugerah yang sungguh besar yakni luas laut Indonesia mencapai 5,8 juta km2, atau mendekati 70% dari luas keseluruhan nusantara. Sayang, laut hanyalah sebuah hamparan eksotika, bukan sumber daya pembangunan. Pembangunan Indonesia lebih cenderung berbasis daratan. Indonesia (pada kenyataannya) lebih memilih konsep land base oriented. Laut dijadikan ‘istri kedua’ (baca: dinomorduakan).
Laut adalah masa lalu milik Sriwijaya, cerita klasik imperium Majapahit yang menguasai separuh Asia Tenggara bahkan Magadaskar. Laut hanyalah bait-bait nostalgia abad ke-9 sebelum Masehi. Laut adalah romantisme sejarah tentang nenek moyang yang mampu berlayar ke Afrika dan membangun koloni di sana (Versi Pliny, sejarawan Romawi abad ke 1). Laut hanyalah hikayat dalam lagu, nenek moyangku seorang pelaut...! That's it.
Ironisnya, pola pikir daratan lebih mendominasi seluruh aspek kehidupan di republik ini. Bahkan di bidang pendidikan, sejak usia sekolah anak-anak diajarkan lebih cenderung melukis pemandangan gunung, sawah, petani membajak sawah (kita semua pasti mengalami hal ini ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar). Banyak hal yang bisa diurai tentang kegagalan memaksimalisasi peran bangsa ini di bidang kelautan. Sebut saja, tidak adanya roadmap pembangunan kelautan atau national ocean policy atau kerangka acuan baku tentang pengelolaan laut dan masa depannya. Laut (sekali lagi) hanya bagian geografis semata bukan potensi sumber daya pembangunan dan ekonomi.
Nah, kini isu global sedang berpaling ke laut. Konon, pemanasan global yang timbul akibat efek rumah kaca memiliki negasi kuat dengan laut. Ternyata iklim dunia sangat berpengaruh dengan laut, menyusul adanya fenomena peningkatan suhu permukaan bumi dan laut, mencairnya kutub es, serta serangkaian bencana laut seperti Tsunami, El Nino. Persoalan pun bergeser. Laut yang tidak termanfaatkan justru sedang mengalami kerusakan. Secara tidak langsung berbagai aktivitas manusia memiliki dampak serius terhadap laut dan kemudian melahirkan bencana. Hasil penelitian yang dipimpin Cynthia Rosenzweig dari NASA’s Goddard Institute for Space Science di New York, menyimpulkan perbuatan manusia dalam kaitan dengan perubahan iklim telah memberi dampak yang sangat luas terhadap sistem alam, termasuk pencairan lapisan es, mekarnya tanaman lebih cepat di Eropa, dan turunnya produktivitas danau di Afrika.
Penelitian yang melibatkan peneliti dari 10 institusi berbeda ini mencoba membuat hubungan dampak secara fisik maupun biologi yang terjadi sejak tahun 1970 bersamaan dengan meningkatnya temperatur sepanjang periode tersebut. Hasilnya, pemanasan yang terjadi secara luas memang berasal dari dampak ulah manusia di seluruh bumi. Mencintai laut pada akhirnya harus menjadi pilihan untuk menyelamatkan bumi. Laut tidak hanya penghasil produk garam untuk pelezat masakan, lauk untuk makanan, sunset untuk latar belakang pose, eksotika wallpaper desktop, penampung segala sampah, penghubung negara dan benua, lebih dari itu laut adalah stabilisator alam. Laut adalah mata rantai vital ekosistem dan lingkungan mahluk hidup.
Indonesia mempunyai peran signifikan dalam mengurangi laju
Tidak ada komentar:
Posting Komentar